Tuesday, 23 June 2015

MAKALAH TENTANG RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA


MAKALAH
 RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA
DITULIS GUNA MEMENUHI TUGAS ILMU PENDIDIKAN


                         

UNY 2.bmp




Disusun Oleh  :
Rizky Kurniawan (10601241080)


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran (kurikulum). Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana pendidikan,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
(8). Rendahnya metode pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
2. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
3. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1.  Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
2. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
3. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.



D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Agar Pemerintah mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia serta Pemeerintah dapat melaksanakan pendidikan untuk segala kalangan khususnya masyarakat yang kurang mampu.
2. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang. Serta agar para guru dapat meningkatkan kualitas didiknya kepada para peserta didik.
3. Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.














BAB II
PEMBAHASAN
A. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
Faktor lainnya adalah biaya pendidikan yang terlalu mahal untuk masyarakat yang kurang mampu. Akibatnya siswa yang mempunyai kecerdasan tetapi karena faktor biaya sehingga putus sekolah. Inilah yang seharusnya di perhatikan oleh pemerintah agar pendidikan dapat dirasakan oleh semua kalangan.
B. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
8. Rendahnya Metode Pendidikan
Metode adalah carayang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Metode pendidikan adalah cara-cara yang di pakai oleh orang atau sekelompok orang untuk membimbing anak/peserta didik sesuai dengan perkembangannya kearah tujuan yang harus dipakai. Metode pendidikan selalu terkait dengan proses pendidikan, yaitu bagaimana cara melaksanakan kegiatan pendidikan agar tercapai tujuan pendidikan.
Untuk memilih metode yang tepat dalam proses pendidikan perlu diperhatikan hal-hal berikut:
a.       Tujuan yang hendak dicapai
b.      Kemampuan pendidik
c.       Kebutuhan peserta didik
d.      Isi atau materi pendidikan.
Dalam melaksnakan pendidikan seharusnya mengacu pada metode pendidikan agar pendidikan tersebut dapat berjalan dengan baik dan dapat dipahami oleh para peserta didik.

C. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.



















BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya sarana pendidikan,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
(8). Rendahnya metode pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, metode pendidikan (Kurikulum) dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
Agar mampu meningkatkan kualitas tersebut juga harus diimbangi dengan sarana dan prasarana pendidikan yang bagus diberbagai daerah tidak terkecuali daerah yang tertinggal.


DAFTAR PUSTAKA

http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://www.sib-bangkok.org.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.

















No comments:

Post a Comment