MAKALAH
RENDAHNYA KUALITAS PENDIDIKAN DI INDONESIA
DITULIS
GUNA MEMENUHI TUGAS ILMU PENDIDIKAN

Disusun
Oleh :
Rizky
Kurniawan (10601241080)
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini
dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks
Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat
pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan,
bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara
di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105
(1998), dan ke-109 (1999).
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi
Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic
Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya
menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut
survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower
bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan
tersebut bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih
banyak disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan
kuat dan terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan
kesadaran baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan negara lain.
Yang kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu
pendidikan. Baik pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh
setelah kita membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah
menjadi penopang dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk
pembangunan bangsa. Oleh karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber
daya manusia Indonesia yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di
negara-negara lain.
Setelah kita amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di
berbagai jenjang pendidikan, baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal
itulah yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan
sumber daya menusia yang mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi
pembangunan bangsa di berbagai bidang.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data
Balitbang (2003) bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan
sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years
Program (PYP). Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah
yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan
dari 8.036 SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia
dalam kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah
efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran (kurikulum). Hal tersebut
masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan
khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya
sarana pendidikan,
(2). Rendahnya
kualitas guru,
(3). Rendahnya
kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya
prestasi siswa,
(5). Rendahnya
kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya
biaya pendidikan.
(8). Rendahnya
metode pendidikan.
Permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan
dalam makalah yang berjudul “Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia” ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kualitas pendidikan di Indonesia?
2. Apa saja yang menjadi penyebab rendahnya kualitas pendidikan di
Indonesia?
3. Bagaimana solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan
pendidikan di Indonesia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini.
2. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan
di Indonesia.
3. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari
permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.
D. Manfaat
Penulisan
1. Bagi Pemerintah
Bisa dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia. Agar Pemerintah mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia
serta Pemeerintah dapat melaksanakan pendidikan untuk segala kalangan khususnya
masyarakat yang kurang mampu.
2. Bagi Guru
Bisa dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya
dapat berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang. Serta agar para guru
dapat meningkatkan kualitas didiknya kepada para peserta didik.
3. Bagi Mahasiswa
Bisa dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan
prestasi dan meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin
memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan
murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat
mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten.
Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau
kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya
menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman
yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya
pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun,
bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu
terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang
menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada
umumnya, antara lain guru dan sekolah.
Faktor lainnya adalah biaya pendidikan yang terlalu mahal untuk masyarakat
yang kurang mampu. Akibatnya siswa yang mempunyai kecerdasan tetapi karena
faktor biaya sehingga putus sekolah. Inilah yang seharusnya di perhatikan oleh
pemerintah agar pendidikan dapat dirasakan oleh semua kalangan.
B. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi
kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah,
buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak
sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat
146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang
kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12%
berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak
201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan
angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada
umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan
persentase yang tidak sama.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di
berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07%
(negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta),
untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu
sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru
SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain
itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru
57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan
S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru
dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata
guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru
honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan
seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen
(PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup.
Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang
pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat
pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain
yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah
khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain
yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit
mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70
persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9
Januari 2006).
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru,
dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development
Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia
secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human
Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki
posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga
saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi
IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement)
di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada
pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5
(Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7
(Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan
dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal
dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara
peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk
IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia
Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan
ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.
Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga
Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak
usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini
termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih
rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia
dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu
akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh
karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat
untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data
BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran
terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5%
dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3
juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga
menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara
hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta
didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia
pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk
Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan
perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung
jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya
tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya
pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan
publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor
yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan
terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan
dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN
(www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi
melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi
pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan,
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network
for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan
privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke
pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang
sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana
memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan
hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini
berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa
pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di
Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang
lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah.
Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak
harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan
pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah
dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan
bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
8. Rendahnya Metode Pendidikan
Metode adalah carayang berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Metode
pendidikan adalah cara-cara yang di pakai oleh orang atau sekelompok orang
untuk membimbing anak/peserta didik sesuai dengan perkembangannya kearah tujuan
yang harus dipakai. Metode pendidikan selalu terkait dengan proses pendidikan,
yaitu bagaimana cara melaksanakan kegiatan pendidikan agar tercapai tujuan
pendidikan.
Untuk memilih metode yang tepat dalam proses pendidikan perlu diperhatikan hal-hal
berikut:
a.
Tujuan yang hendak dicapai
b.
Kemampuan pendidik
c.
Kebutuhan peserta didik
d.
Isi atau materi pendidikan.
Dalam melaksnakan pendidikan seharusnya mengacu pada metode pendidikan agar
pendidikan tersebut dapat berjalan dengan baik dan dapat dipahami oleh para
peserta didik.
C. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi
yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial
yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan
sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di
Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme
(mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan
tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut
perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan
mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang
ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam
atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini
wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan
bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang
berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan
masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya
praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru,
misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi
solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas
dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di
bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang
menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi
pendidikan yang masih kurang dioptimalkan. Masalah-masalah lainya yang menjadi
penyebabnya yaitu:
(1). Rendahnya
sarana pendidikan,
(2). Rendahnya
kualitas guru,
(3). Rendahnya
kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya
prestasi siswa,
(5). Rendahnya
kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya
relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya
biaya pendidikan.
(8). Rendahnya
metode pendidikan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain
dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan,
metode pendidikan (Kurikulum) dan meningkatkan kualitas guru serta prestasi
siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan
kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat
dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia
agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan
meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang
terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing
secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.
Agar mampu meningkatkan kualitas tersebut juga harus diimbangi dengan
sarana dan prasarana pendidikan yang bagus diberbagai daerah tidak terkecuali
daerah yang tertinggal.
DAFTAR PUSTAKA
http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
http://www.sib-bangkok.org.
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan
Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.
http://google.com/makalah-pendidikan.
No comments:
Post a Comment